
Segala sesuatu bekerja oleh kasih. Yohanes memanggil dirinya sendiri sebagai “murid yang dikasihi oleh Yesus”. Tidak ada alasan untuk berpikir bahwa Yesus lebih mengasihi Yohanes dibandingkan dengan yang lainnya, akan tetapi Yohanes lebih memiliki kepercayaan diri. Ia melihat dirinya dikasihi. Di kemudian waktu, ia menjelaskan bahwa saat kita mengetahui bahwa diri kita dikasihi oleh Allah, maka kita mengasihi orang lain (1 Yohanes 4: 19-21).
Di dalam daftar “buah” roh, kasih disebutkan terlebih dahulu. Dengan kasih yang manakah kita mengasihi orang lain? Apakah itu kasih manusia yang telah dijadikan kudus? TIDAK! Itu adalah kasih Allah yang dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus (Roma 5: 5).
Saat Stefanus dirajam oleh batu, ia berseru, “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!”. Yesus mengucapkan kata yang serupa di atas salib, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23: 34) Mengapa? Apakah Stefanus mencoba untuk mengesankan para penonton, ataukah itu merupakan tindakan heroik yang menunjukkan keberhasilan dari semangat kemanusiaan? Apakah ia sedang mencoba untuk menjadi seperti Yesus? Apakah ia mengenakan gelang “Apa Yang Akan Yesus lakukan” (WWJD – What Would Jesus Do) untuk mengingatkan dirinya agar meniru Yesus? Tidak! Baik Stefanus maupun Yesus mengucapkan ungkapan yang sama karena mereka memiliki kasih Allah yang sama di dalam hatinya.
“mempercayai kesembuhan ialah satu hal, tetapi memiliki iman Yesus yang memindahkan gunung-gunung ialah hal yang berbeda.”
Pergumulan Iman
Banyak orang merasa bahwa mereka kekurangan iman atau imannya tidak cukup. Kalau mereka memiliki iman yang lebih, bukankah mereka akan menerima lebih banyak dari Tuhan? Mungkinkah kita telah menempatkan gerobak di depan kuda? Paulus memberitahu kita bahwa “iman yang bekerja oleh kasih” (Galatia 5: 6). Daripada mencari-cari iman, carilah pemahaman yang lebih besar akan kasih Allah.
Beberapa orang frustrasi, “Iman saya tidak bekerja. Saya tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan; Saya sudah mencoba segalanya – saya menghafal Kitab Suci, dan saya mengakui ayat-ayat Alkitab”. Orang yang lain berkata, “Saya mencoba untuk membayangkan mukjizat saya, saya memasang poster dengan tulisan-tulisan dari Kitab Suci, dan baju kaos saya bertuliskan, ‘Oleh bilur-Nya saya disembuhkan’.” Ya, banyak orang yang menerapkan setiap ‘teknik’ rohani, dan hasilnya kosong. Inilah jawabannya; ketika Anda mengetahui betapa Tuhan mengasihi Anda, iman Anda akan bekerja.
Memiliki keyakinan di dalam iman tidak memindahkan gunung kita. Iman bukanlah keadaan yang dihasilkan oleh takaran yang tepat dari keyakinan, kepercayaan diri dan keberanian ditambah dengan beberapa hal lainnya. Sebaliknya, ketika kita bersandar pada seberapa besarnya Bapa Surgawi telah mengasihi kita, iman menjadi alami seperti bernapas.
Saya telah melihat ribuan orang disembuhkan, tetapi saya juga sudah melihat ribuan orang menyeret tubuh mereka yang lelah, sakit dengan rasa nyeri yang menyiksa kembali ke rumah tanpa kesembuhan. Meskipun saya tidak mengaku memiliki semua jawaban, saya memperhatikan ada hal penting yang perlu dipertimbangkan. Tampaknya mereka yang mempercayai iman mereka sendiri atau fokus berjuang untuk memiliki iman adalah orang-orang yang sulit untuk menerima mukjizat. Saya mengamati mukjizat besar terjadi ketika seseorang menjadi sadar akan kasih Allah.
Terkadang kita menyamakan iman dengan kemauan keras. Saya telah melihat para penyandang cacat yang tidak bisa berjalan disembuhkan secara sempurna, namun saya juga melihat orang-orang yang dengan kemauan keras mereka mampu sejenak untuk mendorong dirinya dari kursi roda. Kadang-kadang, itu adalah kemauan keras dari orang di sekitar mereka yang mengangkat dan menarik mereka untuk berjalan, namun kemudian mendudukkan mereka kembali ke kursi. Anda lihat, mempercayai kesembuhan ialah satu hal, tetapi memiliki iman Yesus yang memindahkan gunung-gunung ialah hal yang berbeda. Iman yang sesungguhnya berasal dari kesederhanaan dan ketenangan untuk menerima kasih Allah.
Terlalu sering kita melihat ke arah yang salah. Bayangkan saat Yesus mengatakan kepada murid-murid-Nya untuk pergi ke seberang danau. Hanya dengan melihat ke seberang saja tidak akan cukup. Mereka perlu menemukan sebuah perahu untuk membawa mereka ke sana. Banyak orang yang membayangkan kesembuhan, mukjizat, berkat dan terobosan, di kejauhan di ‘seberang’. Kita memerkukan sebuah perahu yang akan membawa kita melintasi gelombang badai kehidupan menuju ke tempat pemeliharaan Tuhan. Perahu tersebut adalah kasih Allah.
“Dosa-dosa, kegagalan, keberhasilan ataupun kekurangan kita tidak pernah bisa mengubah satu fakta mutlak ini:
Bapa mengasihi kita sebesar Dia mengasihi Yesus.”
Informasi Yang Salah Tentang Allah
Yesus sangat bersemangat, ingin agar banyak orang mengetahui bahwa Allah adalah kasih. Anehnya, salah satu kendala utamanya adalah agama. Tidak banyak yang telah berubah dalam 2.000 tahun. Orang-orang yang menentang Yesus adalah orang-orang yang berpikir bahwa mereka mengenal Allah, namun mereka memiliki sebuah gambaran palsu tentang Allah. Misi Yesus jelas – untuk membuat Allah dikenali ditengah berbagai informasi agamawi yang salah.
Baru-baru ini, Taina dan saya mendengar seorang pendeta terkenal; “Aku akan mengatakan sesuatu yang tidak benar secara politis,” ia mulai dan kemudian berhenti. Anda bisa mendengar para penonton menahan napas, menunggu ‘kekeliruan politik’. “Murka Allah sebesar kasih Allah. Ada lebih banyak murka Allah di dalam Alkitab dibanding kasih-Nya. “ Beberapa orang bertepuk tangan dan yang lain mengangguk setuju, “Khotbahkanlah, khotbahkanlah”. Pengkhotbah tersebut mengatakan sebuah kesalahpahaman umum yang jelas tidak benar. Lebih buruk lagi, hal itu merusak dan menghalangi pertumbuhan rohani.
Ada perbedaan di antara sifat Allah dan atribut-Nya. Allah adalah terang. Allah adalah kehidupan. ALLAH ADALAH KASIH. Semua ini adalah sifat-Nya, esensi dari siapa Allah itu. Kemudian ada atribut Allah: rahmat, keadilan, kesetiaan, dan ya, kemarahan adalah salah satunya.
Semua atribut Tuhan mengalir dari kasih. “Allah yang kaya dengan rahmat karena kasih-Nya yang besar” (Efesus 2: 4). Demikian pula, Allah itu adil karena kasih-Nya. Keadilan selalu berakar di dalam kasih. Bacalah lagi, dimana keadilan disebutkan, Anda akan menemukan definisi Tuhan tentang keadilan ialah untuk membuat segalanya tepat sebagaimana yang seharusnya. Ini berbeda dengan keadilan manusia, yang pada intinya adalah tentang penghukuman.
Bagaimana kemarahan bisa muncul? Ya, Tuhan marah ketika Dia melihat apa yang dilakukan dosa terhadap manusia, bagaimana kita menyakiti diri kita sendiri dan orang lain, bagaimana akhirnya kita merasa malu dan bersalah. Tetapi ingatlah bahwa kemarahan Tuhan ‘berlangsung sesaat’. Murka-Nya tidak untuk memuaskan diri-Nya, tetapi mengalir keluar dari kasih-Nya yang kekal. Anda dapat menilai sendiri, apakah kita lebih berfokus pada sesuatu yang sementara ataukah yang kekal? Kasih lebih dari sekedar atribut Allah; kasih adalah sifat Allah.
Bahayanya adalah kita menggambarkan Allah seperti diri kita. Kita memiliki pandangan tentang bentuk kasih yang tertinggi yang pernah kita ketahui, mungkin kasih dari orang tua, pasangan atau teman, dan kemudian kita berpikir bahwa Allah adalah seperti itu. Orang tua, pasangan atau teman memiliki kasih, namun Allah adalah kasih. Kasih manusia dapat selalu ditingkatkan, kasih Allah itu sempurna.
Dikasihi Seperti Yesus
Agama telah menyamarkan Allah. Mungkin kita melihat diri kita dicintai oleh Allah, tetapi kita ingin mengetahui seberapa besar Allah mengasihi kita mengingat berbagai macam kegagalan dan dosa-dosa kita. Yesus meyakinkan kita bahwa kita dikasihi dengan kualitas kasih yang sama seperti Bapa yang mengasihi Yesus (Yohanes 17: 23). Paulus menjelaskan bahwa “tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah yang ada dalam Kristus Yesus”. Dosa-dosa, kegagalan, keberhasilan ataupun kekurangan kita tidak pernah bisa mengubah satu fakta mutlak ini: Bapa mengasihi kita sebesar Dia mengasihi Yesus.
Kasih telah mengubah segalanya bagi anak yang terhilang. Sebelum ia menemukan kedalaman kasih ayahnya, ia berusaha untuk memperbaiki segala sesuatu dengan caranya sendiri. Dia mengakui bahwa dirinya adalah seorang berdosa yang tidak layak dan ia ingin untuk membayar kembali utangnya. Pada saat ia dibanjiri oleh pelukan dan ciuman dari ayahnya, dan dengan jaminan ayahnya bahwa “ini adalah anakku yang hilang dan didapatkan kembali”, dia menyadari bahwa ini bukan tentang pembayaran utang – semua itu adalah tentang hubungan kasih. Sang ayah tidak bersukacita karena sang anak telah membayar kembali apa yang telah dipinjamnya [hal itu tidak pernah terjadi], tetapi karena hubungan itu dipulihkan. Keadilan telah dilakukan. Semuanya menjadi sebagaimana mestinya.
Dalam tiga puluh tahun pelayanan kesembuhan, saya telah menemukan bahwa mencari iman tidak akan menghasilkan lebih banyak iman. Namun saat (saya) menemukan kasih Allah bagi diri saya, saya memiliki iman, iman-Nya, iman yang diberikan dan “dihasilkan” oleh Kasih-Nya. Mukjizat terjadi ketika Anda tahu bahwa Anda dikasihi. [Peter Youngren]