Nilai-nilai dan moralitas didalam Alkitab saja tidak cukup.
Hanya kasih Allah yang dapat mengubah seseorang atau suatu bangsa.
Beberapa orang berkata bahwa bangsa Indonesia telah mengeraskan hatinya terhadap Allah. Saya tidak mempercayai itu. Mungkin Indonesia perlu untuk benar-benar mendengarkan kabar baik. Keempat kitab Injil membedakan Yesus yang melambangkan kasih karunia dengan para Farisi yang mewakili agama buatan manusia. Pesan tersebut jelas. Lihatlah kepada para Farisi dan Anda akan menemukan bagaimana Allah tidak berpikir atau melakukan apapun. Lihatlah kepada Yesus dan Anda akan mengetahui siapakah Allah itu sebenarnya.
Agama adalah tentang apa yang kita harus lakukan atau tidak boleh lakukan; Injil adalah tentang apa yang sudah dilakukan oleh Allah. Apa yang harus kita lakukan untuk memiliki kebangunan rohani? Berapa banyak doa, puasa, kasih dan iman yang harus dihasilkan oleh kita? 5 langkah? 10 kunci? 15 prinsip terobosan? Apakah yang saya lakukan itu cukup?
Seorang muda yang kaya bertanya, “Apa yang harus saya lakukan agar diselamatkan?” Yesus menjawab, “Ada satu kekuranganmu”. Ini merangkum dilema dari setiap agama. Selama pertanyaan kita adalah “Apa yang harus saya lakukan?”, jawabannya tetap “Ada satu kekuranganmu”. Apa yang akan terjadi bila kita mengubah fokusnya pada “Tuhan, bukalah mata saya untuk melihat apa yang telah Engkau kerjakan bagi saya”.
Melalui kematian Yesus, kebangkitan-Nya dan hari Pentakosta, Injil telah berlaku sepenuhnya. Sebelumnya, orang percaya memandang ke depan pada apa yang akan datang. Sekarang, kita melihat ke belakang pada apa yang telah terjadi.
Paulus menuliskan, “Injil adalah kekuatan Allah” [Roma 1: 16]. Injil berarti “Kabar Baik”. Melalui definisinya, kabar adalah sesuatu yang telah terjadi. Injil bukanlah perkiraan, bahwa Allah mungkin akan memberkati kita, membawa kebangunan rohani atau menggoncangkan bangsa kita. Injil adalah kabar yang menyatakan bahwa sesuatu yang sangat baik dari Allah sudah terjadi. “Kapan itu terjadi?” seseorang mungkin bertanya. Hal itu telah terjadi di kayu salib, dimana setiap rasa bersalah dan dosa manusia diserap oleh Yesus. Saat kita menyampaikan pesan ini, kekuatan Allah dilepaskan, kegelapan lenyap dan terang datang kepada mereka yang mendengarnya.
Melalui Injil, kita dapat memahami kitab-kitab Perjanjian Lama dengan menggunakan perspektif Perjanjian Baru sebagai pedoman. Sekarang kita melihat setiap pengorbanan, hari raya dan prinsip-prinsip Perjanjian Lama melalui karya yang telah diselesaikan oleh Yesus. Saat kita membaca tentang Daud dan Goliat, kisahnya menjadi ilustrasi dari Daud yang kita miliki – Yesus Kristus – yang diatas kayu salib telah meraih kemenangan atas pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa. Saat kita dibombardir dengan cemoohan dari ‘Goliat’ [Iblis], kita menyadari bahwa semua yang dikatakannya adalah tipuan, sebab Yesus sudah memperoleh kemenangan.
Agama berusaha mengejar berkat; Injil menyatakan bahwa kita telah diberkati. Segala berkat – hal-hal di masa lalu, sekarang ataupun di masa depan – di sorga maupun di dunia, semuanya telah menjadi milik kita melalui Yesus Kristus. Saat kita membaca doa dari Yabes, “Oh Tuhan, kiranya Engkau memberkati aku”, kita melihatnya melalui pekerjaan Yesus yang telah selesai. Bagi kita, doa tersebut menjadi, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.” (Efesus 1: 3).
Agama adalah tentang apa yang telah kita perbuat; Injil adalah tentang apa yang telah Yesus perbuat. Allah melakukan apa yang tidak dapat kita lakukan. Kita meresponinya dengan mengizinkan Yesus untuk bekerja di dalam kita. Kita tidak mendapatkan apa yang layak kita terima; kita mendapatkan apa yang layak diterima Yesus. Perbuatan-Nya yang membuat kita dibenarkan, bukan perbuatan kita sendiri.
Kehendak Allah adalah kekudusan dan kekudusan yang sejati hanya mungkin terjadi apabila Yesus hidup melalui kita.
Agama berfokus kepada dosa dunia; Injil berfokus kepada Sang Juruselamat dunia. Ada perbedaan yang sangat besar di antara masa sebelum dan sesudah kebangkitan Yesus. Para nabi hingga Yohanes Pembaptis berbicara tentang dosa orang-orang dengan tujuan untuk memotivasi mereka untuk bertobat, sementara para rasul memberitakan tentang Yesus Kristus. Filipus tidak membicarakan tentang sihir di Samaria dan Paulus tidak berkhotbah menentang perzinahan di Korintus. Mereka memberitakan Yesus dan kedua-duanya, baik penyihir maupun para pelacur tersebut telah diubahkan.
A.B. Simpson, pendiri dari Christian Missionary Alliance Denomination mencetuskan ungkapan ini, “Dunia tidak mempunyai masalah DOSA. Dunia mempunyai masalah PUTERA.” Beberapa orang menemukan ini sulit untuk diterima. Kita harus berhati-hati agar tradisi tidak membutakan kita. Alkitab itu jelas. Yesus adalah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia (Yohanes 1: 29), oleh “satu pengorbanan sekali untuk selamanya”. Ini bukan hanya untuk pendamaian atas segala dosa kita, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia (1 Yohanes 2: 2). Banyak orang tidak mengetahuinya. Sebagai gantinya, mereka mendengar terlalu banyak tentang bagaimana mereka harus mengatasi dosa. Namun hal itu bukanlah Injil.
Kita harus benar-benar jelas. Yesus sudah membereskan dosa. Dia telah melakukan apa yang tidak bisa kita lakukan, dan telah mendamaikan dunia dengan Diri-Nya, dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka (2 Korintus 5: 18-19). Itulah alasan mengapa Roh Kudus menginsafkan kita, bukan dari sebuah daftar panjang akan dosa, tetapi dari ketidakpercayaan kepada Yesus. (Yohanes 16: 8-11).
Agama mengancam dengan penghakiman; Injil berkata bahwa dosa-dosa kita telah dihakimi. Kita seringkali mendengar pendapat bahwa penghakiman Allah sedang datang ke atas bangsa kita, sementara sedikit yang mengatakan tentang (kebenaran) yang luar biasa bahwa penghakiman kita telah ditimpakan kepada Yesus (Yesaya 53: 6). Ya, ada penghakiman bagi mereka yang “menindas kebenaran”, tetapi daftar panjang akan dosa yang dipergumulkan oleh banyak orang telah dihakimi.
Kasih menjawab pertanyaan sepanjang abad tentang tujuan kehidupan – kita ada di dunia untuk dikasihi oleh Allah.
Agama mengatakan bahwa Anda harus menjadikan diri Anda kudus; Injil adalah Kristus telah menjadi pengudusan kita. Peraturan-peraturan, upacara-upacara, nilai-nilai moral dan kekuatan kehendak kita tidak akan pernah mengalahkan dosa. Tidak peduli seberapa kerasnya orang Israel mencoba, hal itu tidak pernah cukup untuk menjadikan mereka benar-benar kudus. Jika kita dapat membuat diri kita sendiri menjadi kudus, maka Yesus tidak perlu mati. Satu-satunya harapan kita untuk melawan dosa hanyalah dengan menjadi ciptaan baru melalui Yesus.
Saat Paulus mendorong orang-orang percaya untuk meninggalkan kehidupan lama, ia selalu melakukannya dari sudut pandang bahwa kita adalah ciptaan yang baru. Karena kita telah dijadikan baru, kita dapat hidup baru. Kasih karunia yang sama yang telah menyelamatkan kita, juga mendidik kita untuk hidup secara kudus dan benar (Titus 2: 11-12). Kita tidak diselamatkan oleh kasih karunia dan kemudian menjadi kudus melalui usaha kita. Tidak, itu semua berkat kasih karunia Allah dari awal hingga akhir. Beberapa orang menempatkan kasih karunia dan kekudusan diujung yang berbeda. Akan tetapi, kedua-duanya 100% berasal dari Yesus. Kehendak Allah adalah kekudusan dan kekudusan yang sejati hanya mungkin terjadi apabila Yesus hidup didalam kita.
Agama mengatakan kita harus terus berupaya mendapatkan kasih Allah; Injil ialah bahwa kita dikasihi dengan kasih yang tidak berubah. Yesus disebutkan pada waktu pra-penciptaan sebagai ‘yang ada di pangkuan Bapa’, tempat dimana Bapa mengasihi Anak dan Anak mengasihi Bapa. Dari kasih inilah muncul kata-kata yang kreatif, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita”.
Bagaimanakah kita di dalam ‘gambar Allah’? Kita memiliki kemampuan untuk menerima dan memberikan kasih. Saat sebagian besar orang setuju bahwa Allah mengasihi kita, banyak orang yang tidak tahu bahwa kita dikasihi dengan kasih yang sama yang dimiliki Bapa terhadap Yesus (Yohanes 17: 23), dan tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih tersebut.
Dosa Adam adalah bahwa ia berjalan meninggalkan kasih Allah, dan menghasilkan semua jenis kejahatan, seperti yang dikatakan Paulus, “Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak.” (Roma 3: 11-12). Karena ketidakmampuan untuk menemukan jalan kembali kepada Allah, hal terbaik yang dapat dilakukan oleh Adam dan Hawa ialah menutupi ketelanjangannya dengan daun ara. Generasi-generasi berikutnya mencoba menutupi rasa bersalah dan rasa malu mereka dengan berbagai ritual keagamaan dan perbuatan baik. Ketika Adam dan Hawa terpisah dari Allah, mereka kehilangan identitas dan tersandung disepanjang hidupnya saat mencari tujuan hidup, “Siapakah aku? Mengapa aku disini?” Inilah dilema manusia.
Kasih menjawab pertanyaan sepanjang abad tentang tujuan kehidupan – kita ada di dunia untuk dikasihi oleh Allah. Setiap tujuan yang lain – penyembahan, doa, pelayanan, kesuksesan – merupakan hal sekunder dibanding menemukan Hubungan Kasih yang untuknya kita dilahirkan.
Agama melihat Allah berada di luar; Injil menempatkan Kristus di dalam (Kolose 1: 27). Hampir semua agama menyetujui bahwa, “Allah ada di luar sana, di suatu tempat dan kita perlu untuk mendapatkan perhatian-Nya”. Jangan pernah menempatkan kasih karunia Allah pada tingkatan agamawi.
Agama mengedepankan hikmat manusia; Injil menyebutnya “kebodohan”. Kebanyakan toko buku dan gereja penuh dengan kiat-kiat tentang bagaimana untuk menjalani kehidupan yang berhasil. Saya menghargai usaha-usaha tersebut. Hikmat manusia dapat memberi dampak yang positif. Setidaknya hal itu membantu untuk mengenali situasi yang kita hadapi. Masalahnya ialah kita sulit untuk hidup sesuai dengan prinsip-prinsip kearifan yang kita ketahui merupakan hal yang baik dan benar.
Kasih karunia bekerja dalam ruang lingkup yang berbeda. Kasih karunia menunjukkan kepada kita bahwa Yesus Kristus telah menjadi hikmat bagi kita (1 Korintus 1: 30). Bahkan nasihat terbaik dari kitab Amsal hanya akan menjadi usaha manusia kecuali kita membiarkan Yesus bekerja melalui kita. Sekalipun saya memiliki hikmat manusia, saya tidak pernah mencampurkannya ke dalam Injil, karena hal itu akan menjadi sebuah pil beracun yang membuat pesan salib menjadi tidak berkuasa. Paulus menyatakannya dengan cara ini: “Di manakah orang yang berhikmat? Di manakah ahli Taurat? Di manakah pembantah dari dunia ini? Bukankah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan?… tetapi kami memberitakan Kristus yang disa- libkan, … Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah.” (1 Korintus 1: 19-24).
Agama memoles bagian luar; Injil mengubah bagian dalam. Banyak orang yang berjuang keras untuk mengamalkan nilai-nilai alkitabiah dan moralitas Kristen. Kita semua dapat menyetujui bahwa nilai-nilai tersebut sangat diinginkan. Tetapi nilai-nilai saja tidak menyelamatkan. Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan. Yang terpenting adalah setiap orang menjadi “ciptaan baru” (Galatia 6: 14-15), karena itu Allah menjadikan terang-Nya untuk “bersinar di dalam hati kita”.
Apakah Anda menginginkan agar keluarga, gereja, kota Anda serta seluruh bangsa kita mengasihi Allah? Bagaimana ini bisa terwujud? Sangat sederhana – kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. (1 Yohanes 4: 19) Semakin kita menunjukkan kepada orang lain betapa Allah sangat mengasihi mereka, maka mereka akan semakin mengasihi Allah. Saat hal tersebut terjadi, bangsa kita akan datang kembali pada Allah.
Indonesia dan dunia telah siap menerima kasih Allah. Jutaan bahkan miliaran orang, telah lelah, mengalami kekalahan, kemarahan dan kekecewaan. Kasih Allah yang akan menyembuhkan hati nurani manusia yang terluka, hati yang hancur karena terus menerus berusaha untuk hidup sesuai dengan kebenaran yang diyakini namun terus mengalami kegagalan.
Ya, Indonesia dan seluruh dunia telah siap untuk Yesus. Apakah gereja sudah siap? Apakah Anda sudah siap? [Peter Youngren]